TPQ Qiraati Daarun Na’im adalah lembaga pendidikan Al-Quran yang menggunakan metode Qiraati dalam pengajarannya. Metode ini mengajarkan anak didik untuk membaca Al-Quran dengan benar tanpa mengeja berdasarkan ilmu tajwid standar. TPQ Qiraati Daarun Na’im terdiri dari 9 kelas, yakni: Kelas Jilid 1 sampai Jilid 5, Kelas Tajwid, Kelas Ghorib, Kelas Finishing dan Kelas Pra Imtas (Pra Ujian Akhir).
TPQ Qiraati Daarun Na’im mulai beroperasi sejak tahun 2015 dan menjadi bagian dari lembaga pendidikan yang berada di bawah Yayasan Ma’had Daarul Mumtaz. TPQ Qiraati Daarun Na’im diasuh oleh Ibu Nyai Nurul Jannatun Na’imah, S.Ag. M.Pd., Al-Hafidzah sebagai Kepala Lembaga, dibantu oleh Ustadzah Bella Selviani, Sekretaris, dan Ustadzah Miftakhul Faidah, Bendahara.
TPQ Qiraati Daarun Na’im menerima santri mulai usia Pra-TK (3 tahun), usia SD, usia SMP, usia SMA dan usia Perguruan Tinggi (Dewasa). Setelah santri menyelesaikan jenjang kelas TPQ Qiraati, mereka bisa melanjutkan ngajinya ke jenjang Pra Tahfidz dan Tahfidz Qur’an.
Jenjang Kelas di TPQ Qiraati
Secara rinci, jenjang kelas di TPQ Qiraati Daarun Na’im adalah sbb.:
- Kelas Jilid 1
- Kelas Jilid 2
- Kelas Jilid 3
- Kelas Jilid 4
- Kelas Jilid 5
- Kelas Tajwid
- Kelas Ghorib
- Kelas Finishing
- Kelas Pra Imtas
Setelah jenjang kelas ini, santri mengikuti IMTAS (Imtikhan dan Tes Akhir Santri). Setelah dinyatakan lulus IMTAS, santri menjalani Khotaman. Setelah itu, mereka diarahkan untuk melanjutkan pada jenjang selanjutnya, yaitu Tahfidzul Qur’an, dengan 2 kelas:
- Kelas Pra PT PT (Pra tahfidz)
- Kelas PT PT (Tahfidz)
Pada jenjang Tahfidzul Qur’an ini, santri diwajibkan mukim, tinggal di pondok dan sekolah di MIBS, yaitu sekolah yang dikembangkan oleh Yayasan Ma’had Daarul Mumtaz dengan 3 pilar Kurikulum, yakni: Kurikulum Tahfidzul Qur’an, Kurikulum Diknas dan Kurikulum Diniyah.
Keunggulan dari TPQ Qiraati Daarun Na’im dan Tahfidzul Qur’an Daarul Mumtaz, para santri dipastikan mampu membaca Alqur’an dengan lancar, tartil, lanyah dan memahami Tajwid, Ghorib, Sifatul Khuruf dan Makhorijul Khuruf. Santri juga dipastikan menguasai tata berwudlu dan sholat dengan baik, serta hafal do’a-doa harian. Lebih dari itu, para santri dipastikan mampu menjadi imam sholat, imam tahlil, imam istighotsah, atau memimpin do’a, dan sejenisnya.
Sekilas Sejarah Metode Qiraati
Dikisahkan, suatu saat, KH. Dachlan Salim Zarkasyi merasa gelisah saat mengenalkan huruf Al-Qur’an dengan Kaidah Baghdadiyah kepada murid-muridnya. Sebab, para murid merasa kesulitan. Senafas dengan itu, Kyai Dachlan telah mengamati banyak murid memiliki bacaan lancar, tetapi tidak sesuai dengan standar tajwid. Atas kegelisahan tersebut, Kyai Dachlan berinisiatif merumuskan metode baca Al-Qur’an sendiri sebagai jalan keluar dari permasalahan di tengah masyarakat.
Untuk nama metodenya, Kyai Dachlan Salim Zarkasyi pernah meminta kepada dua orang ulama di sekitar kediamannya, yaitu Ustadz A. Joned dan Ustadz Syukri Taufiq, yang secara terpisah dan kebetulan mengusulkan penyebutan metode ini dengan nama Qira’ati yang artinya Bacaanku.
Kata “Qira’ati” dalam pandangan ilmu nahwu, dapat diartikan (1) Iqra’ Qira’ati artinya ‘bacalah bacaanku’, (2) Itba’ Qira’ati: ‘ikutilah bacaanku’. Berasal dari kedua usulan nama tersebut, Kyai Dachlan memutuskan metode baru cara baca Al-Qur’an diberi nama Qira’ati. Harapannya, dengan metode baru itu, menjadikan para murid lebih praktis dalam membaca Al-Qur’an.
Menurut Sofien Effendi dalam Ensiklopedia Cara Baca Al-Qur’an di Indonesia (2022: 181), rumusan Qira’ati oleh Kyai Dachlan dimulai sejak 1963 dan selesai pada 1968. Metode ini pertama kali ditulis dalam 10 jilid. Setelah dilakukan evaluasi, dilakukan revisi pada 1985, dan disederhanakan menjadi delapan jilid. Akan tetapi belum genap dua tahun, buku ini disederhanakan kembali menjadi enam jilid dan mulai tahun 2023 ini disederhanakan lagi, yang saat ini digunakan, menjadi 5 jilid.
Qira’ati digunakan sebagai bahan ajar pada semua jenjang umur dan tingkatan, mulai dari anak usia dini sampai dewasa, mulai jenjang pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi, terkhusus lagi digunakan di Lembaga Pendidikan Al-Qur’an seperti TPQ dan sekolah Formal.
Dari sisi sanad keilmuan, Kyai Dachlan berguru kepada beberapa orang ulama Al-Qur’an, seperti KH. Asrar bin KH. Ridwan Kaliwungu-Semarang. Kyai Asrar Kaliwungu-Semarang tersambung kepada Kyai Ahmad Badawi yang menjadi salah seorang murid langsung dari KH. Muhammad Munawwir Krapyak. Kyai Dachlan juga pernah berguru kepada KH. Abdullah Umar Al-Samaranī, Imam besar masjid Kauman Semarang yang juga pendiri sekaligus pimpinan pondok pesantren tahfiẓ Al-Qur’an, sebelah utara masjid Kauman. Menurut sumber lain, KH. Abdullah Umar ini murid KH. Arwani Kudus.
Distingsi yang menjadi ciri khas metode ini, buku ajarnya “Qiraati” tidak diperjualbelikan bebas, namun dapat diperoleh melalui koordinator suatu daerah yang disepakati koordinator pusat Qira’ati di Semarang. Distingsi lainnya, setiap pengajar Qira’ati harus melewati rangkaian pembinaan dan pengujian untuk dapat memperoleh “syahadah” (sertifikat) dari koordinator suatu daerah.
Metode Qira’ati dapat digunakan secara efektif jika pembelajarannya melalui lembaga dengan nama Taman Pendidian Al-Qur’an atau TPQ. Melalui Lembaga TPQ, santri dimungkinkan ikuti tahapan pembelajaran klasikal dan individual secara kontinyu dan berkesinambungan dari kelas dasar sampai kelas Al-Qur’an.
Sebaran pengguna metode Qira’ati sudah hampir merata di seluruh kota di Indonesia. Saat ini tercatat ada 72 koordinator cabang pada provinsi di Pulau Jawa serta enam koordinator cabang yang tersebar di Sumatera, yaitu: Lampung, Palembang, Bengkulu, Jambi, Riau, dan Batam. Selain itu, ada tiga koordinator cabang tersebar di wilayah Kalimantan (Bontang dan Samarinda), dua koordinator cabang di wilayah Papua, dua koordinator cabang di wilayah NTB, satu koordinator cabang di Bali, dan tiga koordinator cabang di wilayah Malaysia dan Singapura. (gd/sumber)